Cokelat merupakan produk pangan yang terbuat dari biji kakao, lemak kakao, dan gula. Cokelat bersifat padat pada suhu ruang, rapuh saat dipatahkan dan meleleh sempurna pada suhu tubuh. Lemak kakao memegang peranan penting yang mempengaruhi titik leleh dari cokelat. Lemak tersusun atas komposisi trigliserida berupa asam palmitate, asam stearat dan asam oleat yang memiliki titik leleh pada suhu 33–37ºC (Lip dan Anklam, 1998). Titik leleh cokelat memberikan ciri khas pada produk cokelat, akan tetapi titik leleh yang rendah juga memberikan masalah baru terutama pada daerah tropis, seperti Indonesia. Berdasarkan Badan Pusat Statistik pada tahun 2015, diketahui bahwa suhu maksimum rata – rata di Indonesia mencapai 35ºC. Kondisi tersebut dapat menyebabkan cokelat meleleh sebagian atau keseluruhan sebelum sampai di tangan konsumen.
Pengembangan heat resistant cokelat banyak dilakukan dengan mengganti lemak kakao dengan jenis lemak nabati lain yang bersifat ekuivalen dan substituen sehingga dapat meningkatkan titik leleh cokelat. Akan tetapi, penggantian lemak kakao dengan lemak nabati lain tersebut dapat menurunkan kualitas cokelat terutama pada perubahan warna dan rasa khas cokelat. Selain itu, pada beberapa negara juga terdapat pembatasan jumlah lemak nabati selain lemak kakao (Non Cocoa Vegetable Fat) yang dapat ditambahkan pada cokelat. Penambahan NCVF di Eropa hanya diizinkan dengan kadar 5-12%, sedangkan di India tidak diizinkan penambahan NCVF pada produk cokelat (Stortz dan Marangoni, 2011).
Berkaitan dengan hal tersebut, saat ini Departemen Teknik Pertanian dan Bisosistem FTP UGM telah mengkaji dan akan mengkaji lebih lanjut lagi mengenai pengembangan heat resistant cokelat melalui jaringan gula (sugar network). Sugar network merupakan peristiwa pengikatan partikel cokelat oleh bahan yang memiliki kadar air yang tinggi dengan ditandai oleh adanya aglomerasi. Selain mengganti lemak kakao dengan lemak nabati, peningkatan titik leleh cokelat juga dapat dilakukan dengan menaikkan kadar air pada cokelat.
Peningkatan kadar air ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kadar air bahan yang akan digunakan untuk membuat cokelat. Hal ini dapat dilakukan dengan mengganti gula pasir/sukrosa dengan gula lain yang bersifat amorf dan memiliki kadar air tinggi. Penggunaan gula amorf yang memiliki kadar air yang tinggi dapat meningkatkan sugar network dan meningkatkan ikatan mikrostruktural. Salah satu jenis gula yang memiliki kadar air cukup tinggi dan bersifat amorf adalah gula semut (palm sap sugar). Gula semut merupakan gula yang diproduksi dari nira aren dan kelapa. Semua fungsi dari gula pasir dapat digantikan oleh gula semut, hanya saja gula semut memiliki warna khas cokelat dan memiliki aroma khas nira. Selain itu, gula semut juga memiliki keunggulan yaitu memiliki indeks glikemik yang rendah sehingga lebih baik untuk kesehatan dibanding gula pasir (Kementrian Perdagangan, 2017). Indonesia sendiri merupakan salah satu negara eksportir gula semut di dunia. Akan tetapi, penggunaan gula semut sebagai pengganti gula pasir pada produk cokelat masih belum banyak dikembangkan.
Stortz dan Marangoni (2011) mengatakan bahwa kadar air dapat membentuk sugar network yang dapat menahan struktur cokelat yang akan meleleh, sehingga lemak yang sudah meleleh akan tertahan oleh jaringan gula tersebut dan cokelat akan tetap berada dalam bentuknya.
Referensi:
Kementrian, Perdagangan. (2017). Warta Ekspor. Jakarta: Kementrian Perdagangan Republik Indonesia.
Lipp, M., dan Anklam. (1998). Review of Chocolate Butter and Alternative Fats for Use in Chocolate Part A. Compositional Data. Journal of Food Chemistry, 73-97.
Saputro, A.D. (2017). Structure-function relations of palm sap sugar in dark chocolate. PhD thesis, Ghent University, Belgium, 221p.
Stortz, T. A., dan Marangoni, A. G. (2011). Heat resistant chocolate. Trends in Food Science & Technology, 201-214.