Secara umum cokelat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu dark chocolate, milk chocolate dan white chocolate. Berbeda dengan dua cokelat lainnya, white chocolate sama sekali tidak mengandung padatan kakao melainkan padatan susu. Maka dari itu, di Amerika dan Eropa white chocolate sering tidak diakui sebagai salah satu kategori cokelat. Akan tetapi di Indonesia sendiri white chocolate banyak digemari karena memiliki rasa yang unik dan cenderung manis tanpa ada rasa pahit seperti halnya cokelat biasa. Bahkan saat ini banyak pelaku usaha yang mengembangkan white chocolate dengan berbagai varian rasa mulai dari rasa matcha, buah-buahan, hingga rempah-rempah.
Artikel
Keberadaan gula pada cokelat dianggap sebagai komponen penting selain memberikan rasa manis, gula mampu meningkatkan aroma cokelat. Jika gula digiling bersama dengan kakao, beberapa rasa kakao yang mudah menguap tertarik oleh gula amorf. Permukaannya sangat reaktif dan menyerap rasa dan aroma apa pun yang dekat dengan gula lalu memberikan flavour cokelat yang lebih kuat. Sukrosa adalah gula yang paling umum digunakan dalam industri cokelat. Sukrosa menyumbang lebih dari 40-50% padatan yang didispersikan dalam lemak (Beckett, 2008).
Penerimaan cokelat ditentukan oleh kualitas cokelat seperti tingkat kehalusan, titik leleh, sifat aliran, tekstur, penampilan, dan rasa cokelat. Parameter tersebut dapat dievaluasi secara langsung melalui beberapa parameter yang langsung berpengaruh terhadap kualitas, yaitu kadar air, distribusi ukuran partikel, sifat reologi, kekerasan, warna, dan mikrostuktur cokelat.
- Kadar air (moisture content)
Kadar air merupakan persentase banyaknya air yang terkandung dalam suatu bahan. Cokelat harus diusahakan memiliki kadar air yang rendah karena memiliki pengaruh yang tinggi terhadap sifat reologi dan kekerasan cokelat (Afoakwa, 2010; Beckett, 2009). Kadar air cokelat dapat diukur dengan menggunakan metode titrasi Karl-Fisher.
Cokelat merupakan salah satu produk pangan yang popular di dunia karena memiliki rasa yang khas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsumsi cokelat memicu pelepasan hormon serotonin di otak. Hormon ini mampu memberikan perasaan senang dan mood yang baik. Hal tersebut menyebabkan cokelat digemari oleh semua lapisan masyarakat, dari anak-anak hingga lanjut usia. Namun, belum banyak yang mengetahui apakah cokelat yang dikonsumsi memiliki kualitas yang bagus atau memiliki kualitas rendah. Kualitas cokelat dapat dievaluasi melalui 7 parameter sebagai berikut:
Cokelat merupakan salah satu produk pangan popular di dunia dan banyak digemari oleh semua kalangan. Saat ini, banyak sekali produk berbasis kakao-cokelat yang dijumpai dipasaran, misalnya produk enrobing dan panning serta praline.
Enrobing
Enrobing merupakan proses pelapisan atau penutupan permen atau makanan ringan dengan cokelat. Enrobing bertujuan untuk meningkatkan flavor produk dengan penambahan cokelat, meningkatkan umur simpan produk, mempertahankan dan mengurangi kehilangan kadar air, menjaga bentuk produk, serta memberikan kemudahan dalam mengonsumsinya. Sampai awal tahun 1900-an, proses enrobing masih dilakukan secara tradisional dengan mencelupkan isian, permen, atau makanan ringan ke dalam cokelat yang sudah ditempering. Proses ini berjalan lambat, rumit, dan sulit menghasilkan bentuk yang sama. Hal ini tentunya tidak praktis, sehingga kemudian berkembanglah mesin enrobing.
Cokelat merupakan produk pangan yang terbuat dari biji kakao, lemak kakao, dan gula. Cokelat bersifat padat pada suhu ruang, rapuh saat dipatahkan dan meleleh sempurna pada suhu tubuh. Lemak kakao memegang peranan penting yang mempengaruhi titik leleh dari cokelat. Lemak tersusun atas komposisi trigliserida berupa asam palmitate, asam stearat dan asam oleat yang memiliki titik leleh pada suhu 33–37ºC (Lip dan Anklam, 1998). Titik leleh cokelat memberikan ciri khas pada produk cokelat, akan tetapi titik leleh yang rendah juga memberikan masalah baru terutama pada daerah tropis, seperti Indonesia. Berdasarkan Badan Pusat Statistik pada tahun 2015, diketahui bahwa suhu maksimum rata – rata di Indonesia mencapai 35ºC. Kondisi tersebut dapat menyebabkan cokelat meleleh sebagian atau keseluruhan sebelum sampai di tangan konsumen.
Kakao (Theobroma cacao L.) dewasa ini menjadi salah satu komoditas perkebunan yang potensial untuk dikembangkan. Berdasarkan Statistik Kakao Indonesia (2017), Indonesia menjadi negara produsen kakao terbesar ke-3 dunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan produksi mencapai 658,4 ribu ton pada tahun 2016. Kakao Indonesia memiliki karakteristik yaitu tidak mudah meleleh, kondisi ini membuat kakao Indonesia cocok untuk blending karena mengandung lemak cokelat serta menghasilkan bubuk kakao dengan mutu yang baik.
Proses pembuatan cokelat secara konvensional hanya sesuai untuk diterapkan pada skala industri dengan kapasitas besar dan proses yang berkelanjutan. Beragamnya alat dengan konsumsi energi tinggi menyebabkan pengolahan konvensional membutuhkan biaya investasi dan operasional yang cukup besar. Selain itu, dibutuhkan pula tenaga yang terampil untuk pengoperasian dan pemeliharaan alat. Hal ini tentunya menjadi keterbatasan bagi industri kecil dan para petani kakao di Indonesia untuk memproduksi cokelat sendiri karena harga mesin pengolah cokelat yang sulit dijangkau. Sekitar 90 – 95 % kakao di dunia diproduksi oleh petani kecil yang relatif berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, proses alternatif sangat dibutuhkan agar pembuatan cokelat dapat dilakukan pada skala kecil.
Setelah proses conching selesai, proses berikutnya yang harus dilakukan adalah tempering. Tempering merupakan perlakuan termo-mekanis dari pasta cokelat untuk menciptakan sejumlah kristal lemak yang tersebar secara homogen dan sangat stabil dalam jenis dan ukuran yang tepat. Kristal ini bertindak sebagai benih pada pertumbuhan kristal untuk memastikan bahwa struktur kristal yang terbentuk kompak selama tahap pendinginan yang dilakukan setelahnya (Delbaere et al., 2016). Cokelat yang diteempering dengan baik akan memiliki karakteristik yang diinginkan, misalnya memiliki kontraksi (mudah dilepas dari cetakan), permukaan yang mengkilap (glossy), keras (snap), serta stabilitas yang optimal pada kondisi penyimpanan normal (Delbaere et al., 2016; Minifie, 1989).
Conching merupakan tahapan lanjutan setelah mixing dan refining. Proses ini adalah proses penting dalam pembentukan viskositas, tekstur, dan rasa pada cokelat. Kadar air dan rasa asam akan diuapkan, sehingga pada proses ini akan terjadi pembangunan rasa karena pencampuran yang lama pada suhu yang tinggi. Proses ini juga mereduksi ukuran partikel (Minifie, 1989; Awua, 2002).
Proses conching berlangsung selama 16-24 jam dengan penggunaan suhu yang berbeda berdasarkan tipe cokelat yang dibuat. Pada dark chocolate, conching dapat dilakukan pada suhu 70°C yang dilanjutkan hingga mencapai 82°C, adapun untuk milk chocolate dilakukan pada suhu 60°C (Awua, 2002). Agar diperoleh cokelat dengan viskositas yang baik dapat dilakukan penambahan lemak kakao atau lesitin pada akhir conching agar diperoleh pasta cokelat yang lebih cair (Beckett, 2009; Whitefield, 2005).