Saat ini Indonesia menempati urutan ke-3 sebagai negara produsen kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan produksi mencapai 658,4 ribu ton pada tahun 2016 (BPS, 2017). Adapun begitu, besarnya produksi kakao yang dihasilkan Indonesia tidak diikuti dengan kualitas yang mampu bersaing dengan kakao dari negara lain. Penyebab rendahnya kualitas biji kakao Indonesia adalah karena rendahnya pengetahuan para petani dalam penanganan prapanen atau pascapanen kakao, salah satunya dalam proses fermentasi.
Fermentasi merupakan proses penting dalam pengolahan biji kakao. Tujuan utama dari proses ini adalah untuk menghasilkan prekursor cita rasa dan aroma kakao, mencokelat-hitamkan warna biji, serta mengurangi rasa pahit dan sepat (Clapperton, 1994; Wahyudi, 1988). Selain itu proses ini bertujuan untuk membebaskan biji kakao dari pulp (daging buah) dan mematikan biji. Biji kakao yang tidak terfermentasi, tidak akan memiliki senyawa prekursor tersebut sehingga cita rasa dan mutu biji sangat rendah. Proses fermentasi untuk kakao dengan varietas Forastero berlangsung selama 5-6 hari, sedangkan untuk varietas Criolo difermentasi selama 1-3 hari (Afoakwa, 2010). Fermentasi dapat dilakukan dengan meletakkan biji-biji kakao ke dalam kotak kayu yang sudah dilubangi bagian samping dan bawahnya (Gambar 1). Kemudian tumpukan biji ditutup menggunakan karung goni atau penutup lainnya.
Namun, sebelum dilakukannya fermentasi, terdapat proses yang juga tidak kalah penting dalam pembentukan flavor kakao, yaitu pengkondisian pulp yang dapat dilakukan dengan metode pod storage. Pod storage merupakan suatu teknik penyimpanan kakao yang telah dipanen selama jangka waktu tertentu sebelum fermentasi (Hinneh dkk., 2018). Teknik ini telah diterapkan di beberapa negara penghasil kakao, seperti Malaysia. Setelah kakao dipanen, biji kakao tidak segera dipisahkan dengan tempurungnya (pod). Biji kakao tetap berada pada tempurung dan dibiarkan selama beberapa hari hingga seminggu. Hal ini dapat mengurangi tingkat keasaman dari biji kakao yang difermentasi (Meyer dkk., 1989). Selama penyimpanan pada pod, bagian luar pod berubah dari kuning terang menjadi gelap dan hitam, adapun buah dibagian dalam pod berubah dari putih terang menjadi krem (Gambar 2). Selain itu bagian buah pun menyusut yang menunjukkan terjadinya penguapan air (Hinneh dkk., 2018).
Referensi:
Afoakwa, E. (2010). Chocolate Science and Technology. UK: Wiley Blackwell Oxford.
Clapperton, J.F. (1994). A Review of Research to Identify The Origins of Cocoa Flavor Characteristics. Cocoa Grower’s Bull., 48, 7-16.
Hinneh, M., Semanhyia, E., Van de Walle, D., De Winne, A., Tzompa-Sosa, D. A., Scalone, G. L. L., & De Cooman, L. (2018). Assessing the influence of pod storage on sugar and free amino acid profiles and the implications on some Maillard reaction related flavor volatiles in Forastero cocoa beans. Food research international, 111, 607-620.
Meyer, B., Biehl, B., Said, M. B., & Samarakoddy, R. J. (1989). Post‐harvest pod storage: A method for pulp preconditioning to impair strong nib acidification during cocoa fermentation in Malaysia. Journal of the Science of Food and Agriculture, 48(3), 285-304.
Saputro, A.D. (2017). Structure-function relations of palm sap sugar in dark chocolate. PhD thesis, Ghent University, Belgium, 221p.
Sub Direktorat Statistik Tanaman Perkebunan. (2017). Statistik Kakao Indonesia 2017. Badan Pusat Statistik
Wahyudi, T. (1988). Perisa Kakao dan Komponen-komponennya. Pelita Perkebunan, 4, 106-110. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember